Monday, July 1, 2013

Mewujudkan Hak Perempuan atas Kesehatan Reproduksi dan Seksual sebagai HAM

Persoalan Kesehatan Reproduksi Perempuan

Di dalam konferensi kependudukan sedunia, di Kairo 1994, diakui bahwa Kesehatan reproduksi tidak tercapai di banyak negara di dunia karena faktor-faktor sebagai berikut: tingkat pengetahuan yang tidak mencukupi tentang seksualitas serta informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang tidak tepat atau kurang bernilai; kelaziman perilaku seksual yang berisiko tinggi; praktek-praktek sosial yang diskriminatif; sikap-sikap negatif terhadap perempuan dan anak perempuan; dan kekuasaan terbatas yang dimiliki banyak perempuan dan anak perempuan atas kehidupan seksual dan reproduksi mereka.”
Selama ini pemerintah di banyak tempat, khususnya di Indonesia, hanya melihat soal seksualitas dan reproduksi manusia dalam kepentingan kekuasaan-kontrol kependudukan agar berdaya guna secara ekonomi dan politik. Khususnya mengontrol tubuh –’kesuburan’- perempuan (contoh: Program KB- yang menempatkan perempuan sebagai objek).

Sebaliknya, pendekatan humanisme dan HAM dalam melihat soal kependudukan dan soal-soal pembangunan, menempatkan manusia (laki-perempuan) sebagai individu yang memiliki otonomi untuk mengontrol tubuh dan seksualitasnya serta memiliki hak untuk menikmati standar tertinggi dari kesehatan baik secara fisik, psikis maupun sosial, yang dilindungi oleh negara-negara.

Pendekatan diatas yang merupakan koreksi terhadap pendekatan yang selama ini ada, tercermin dalam Landasan Aksi yang merupakan hasil konferensi kependudukan dunia di Kairo tahun 1994 (ICPD 1994). Di dalamnya memberikan defenisi Kesehatan Reproduksi, sebagai berikut:
“Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh, dan bukan hanya ditandai dengan tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya. Karena itu, kesehatan reproduksi juga berarti seseorang dapat mempunyai kehidupan seksual yang aman dan memuaskan dan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan apakah mereka ingin melakukannya, bilamana dan seberapa seringkah.
…Termasuk keadaan terakhir ini adalah hak pria dan wanita untuk memperoleh informasi dan mempunyai akses terhada cara-cara keluarga berencana yang aman, efektif, terjangkau, dan dapat diterima, yang menjadi pilihan mereka, serta metode-metode lain yang mereka pilih untuk pengaturan fertilitas yang tidak melawan hukum; dan hak untuk memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan yang tepat, yang akan memungkinkan para wanita dengan selamat menjalani kehamilan dan melahirkan anak; dan memberikan kesempatan yang terbaik kepada pasangan-pasangan untuk memiliki bayi yang sehat….

Kesehatan Reproduksi juga mencakup kesehatan seksual, yang bertujuan meningkatkan status kehidupan dan relasi-relasi personal, bukan semata-mata konseling dan perawatan yang berhubungan dengan reproduksi dan penyakit menular seksual.
Mengingat rumusan diatas, Hak-Hak Reproduksi mencakup hak-hak asasi manusia tertentu yang sudah diakui dalam hukum-hukum nasional, dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia internasional, dan dokumen-dokumen konsensus Perserikatan Bangsa-Bangsa lain yang relevan. Hak-hak ini didasarkan pada pengakuan akan hak-hak asasi semua pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak, penjarakan anak dan menentukan waktu kelahiran anak-anak mereka dan mempunyai informasi dan cara untuk memperolehnya, serta hak untuk mencapai standar tertinggi kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini juga mencakup hak semua orang untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan, dan kekerasan seperti dinyatakan dalam dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia.
Mengapa advokasi kesehatan reproduksi perempuan?
Konstruksi sosial (atas SEKSUALITAS) yang eksis di masyarakat patriarkhi di manapun – telah menjauhkan perempuan dari kemampuan-nya untuk mengontrol tubuh dan seksualitasnya termasuk kesehatan reproduksinya. Fenomena kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk adalah salah satu wujudnya (KDRT, kekerasan seksual termasuk marital rape, perkosaan, perdagangan perempuan/anak perempuan, eksploitasi prostitusi)—terjadi hampir di semua penjuru dunia.
Data kasus kekerasan berbasis gender/kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun KOMNAS Perempuan secara nasional –memperlihatkan peningkatan setiap tahunnya. Catatan yang dikeluarkan terakhir, Tahun 2008 meningkat 213% atau sejumlah 54.452 dari sebelumnya 25.522 kasus (2007) dan 22.512 kasus (2006). (Lap Komnas Perempuan, Maret 2009).
Kasus KDRT menempati posisi tertinggi (52%) dimana kekerasan terhadap istri (KTI) secara fisik, psikis, seksual dan penelantaran oleh suami merupakan yang dominan (95%). Hal ini menunjukkan lembaga perkawinan tradisional (patriarkhi) bermasalah dan cendrung diskriminatif terhadap perempuan. Giddens dalam “The Third Way”telah menggambarkan hal tersebut : “Perkawinan tradisional didasarkan pada ketidaksetaraan pria dan wanita dan kepemilikan legal suami atas isteri. Wanita adalah harta bergerak dalam hukum Inggris, sampai beberapa puluh tahun kemudian di abad ini. Anak-anak pun demikian. Selain itu, keluarga tradisional pada umumnya melibatkan standar ganda dalam urusan seksual. Wanita yang telah menikah diharapkan ‘penuh kebajikan’, sebagian karena pentingnya memastikan paternitas. Sementara pria diberi hak seksual lebih besar”. (hal 105)
Di Indonesia, isteri bukanlah subjek hukum (KUHPer) sampai lahir UU No.1/1974 tentang Perkawinan. Sementara dalam UU Perkawinan yang sama, suami diposisikan sebagai kepala rumah tangga, sedang isteri sebagai ibu rumah tangga (domestikasi perempuan). (Pasal 31 dan 34). Selanjutnya, suami dibenarkan secara hukum dan sosial untuk menikah hingga empat isteri. Di luar itu, mereka masih punya privilege mendatangi pelacuran, melakukan perselingkuhan dan pada saat yang sama lebih bebas dari stigma, lain halnya seperti yang dijatuhkan pada perempuan (perempuan kotor, binal, pelacur, istri tidak setia, ‘nusyuz’ (durhaka)).
Seksualitas perempuan harus diarahkan pada prokreasi dalam perkawinan: harus fungsional menjamin kesuburan dan keturunan, mampu melayani kepentingan seksual suami.
Syarat poligami dalam pasal 4 dan 5 UUP menyebutkan bahwa izin poligami dapat diberikan pengadilan dengan syarat istri tidak dapat menjalankan kewajibannya: tidak dapat melayani, tidak dapat melahirkan keturunan.
Perempuan sebagai obyek hasrat dan kepentingan seksual sekaligus menjamin keturunan dari laki-laki (dibungkus dalam idealisasi perkawinan heteroseksual-patriarkhi).
Sebelum lahir UU PKDRT No. 23 Tahun 2004, kekerasan seksual dalam dalam perkawinan tidak pernah dipertimbangkan sebagai kejahatan (Pasal 285 KUHP).
Bahkan setelah lahir UU PKDRT, kasus-kasus kekerasan seksual tetap terjadi pada perempuan dan sulit mengakses keadilan karena dianggap tabu, ketergantungan istri (nafkah, psikis) stigma sosial, tidak ada dukungan dari keluarga, dan seterusnya.
Beberapa bentuk kekerasan seksual di dalam perkawinan:
a.       Memaksakan hubungan seksual dengan ancaman tidak diberi nafkah
b.      Melakukan hubungan seksual dengan cara tidak wajar (adegan porno mengarah Seks Maniak)
c.       Memasukkan benda-benda ke dalam vagina (terong, mentimun, olesi balsem)
d.      Memaksakan hubungan seksual padahal punya penyakit kelamin karena suami sering “jajan”
Dampak pada kesehatan reproduksi perempuan:
- Vagina mengalami gatal-gatal
- Vagina terasa nyeri
- Vagina memar
- Vagina berdarah
- Vagina bernanah
- Terinfeksi penyakit kelamin
Dalam hukum tentang perkosaan: tubuh perempuan direduksi sebatas bagian tubuh tertentu (vagina). Perkosaan dibatasi pada konteks persetubuhan. Harus dibuktikan adanya penetrasi penis ke vagina: adanya sperma, luka/robek selaput dara.
Tidak pernah diakomodir bentuk-bentuk lain, seperti: pemaksaan oral, penggunaan benda, penggunaan bagian tubuh diluar penis, dan seterusnya.
Bahwa perkosaan sebagai pemaksaan yang tidak melulu bersifat fisik tidak pernah dianggap ada (karena pengalaman perempuan didiskualifikasikan dalam hukum).
Kekerasan seksual yang merupakan pelanggaran atas integritas tubuh, di dalam hukum tidak dikategorikan sebagai kejahatan terhadap orang, tetapi sebagai pelanggaran kesusilaan. Nilai masyarakat yang dijadikan patokan –konstruksi seksualitas maskulin.
Tingginya Angka Kematian Perempuan/Ibu (AKI)
Semua situasi yang telah dipaparkan diatas pada dasarnya adalah merupakan pelanggaran atas hak-hak reproduksi dan seksual perempuan. Problem yang juga sangat memprihatinkan dan mencolok mata dari kesehatan perempuan adalah fenomena tingginya angka kematian perempuan/ibu (AKI) di Indonesia. Yakni (373/100.000 kelahiran hidup) . Tingginya AKI di Indonesia seringkali hanya dilaporkan sebagai akibat dari pendaharan (46,7%), keracunan kehamilan (14,5%) dan infeksi (8%) (Depkes 1996). Namun, analisis lanjut dari Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 menunjukkan bahwa aborsi berkontribusi 11% terhadap kematian ibu di Indonesia. Angka ini mungkin lebih besar lagi mengingat tidak dilakukannya pencatatan data resmi tindakan aborsi, terutama aborsi tidak aman (unsafe abortion). Gulardi mensinyalir 10-50 persen dari AKI dikarenakan aborsi yang tidak aman (WHO: Gulardi, 2001). Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI, memperkirakan 50% dari AKI dikarenakan aborsi yang tidak aman (Kompas 2002). Situasi ini terpaksa ditempuh oleh perempuan karena minimnya akses kesehatan akibat tiadanya pengaturan yang jelas terhadap aborsi. Adapun mayoritas perempuan yang rentan menjadi korban adalah mereka yang sudah menikah (87%), yang melakukan aborsi karena berbagai faktor darurat/terpaksa yang tidak semata-mata karena faktor medis seperti gagal KB (36%), tekanan ekonomi dan psikososial, usia ibu yang terlalu tua atau muda, jarak kehamilan yang terlalu dekat, dan trauma melahirkan .
Masalah tingginya AKI merupakan keprihatinan bersama di banyak tempat. Karena itu pada kesepakatan dunia mengenai Tujuan Pembangun-an Milenium (MDG’s) yang ditargetkan terwujud pada tahun 2015, –dimana pemerintah Indonesia juga ikut di dalamnya,– menempatkan masalah penurunan tingginya kematian ibu ini sebagai tujuan kelima dari MDG’s yang harus dicapai, yakni ¾ -nya dari angka pada tahun 1990. Dengan asumsi bahwa rasio tahun 1990 adalah sekitar 450, maka target MDG’s adalah sekitar 110 pada tahun 2015 . Target tersebut tampaknya masih sulit dicapai. Bukannya malah menurun, dalam beberapa laporan yang ada bahkan jumlah AKI semakin meningkat, yakni 420/100.000 kelahiran. Ini angka yang memprihatinkan. Bandingkan dengan Filiphina, 230, Malaysia, yang hanya 62, Singapura, 14. (UNFPA, 2008. State of The World Population Report)
Fakta kematian perempuan tersebut jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia yakni:
1. Hak untuk hidup bagi perempuan yang dalam proses reproduksinya menghadapi resiko gangguan fisik dan mental, kecacatan dan kematian, dan
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan standar yang berkualitas, termasuk pemanfaatan teknologi kesehatan reproduksi dan informasi terkait, tanpa adanya diskriminasi.
Layanan aborsi yang aman harus dilihat sebagai suatu kebutuhan perempuan yang bersangkutan untuk memutuskan apakah kehamilannya dapat dilanjutkan atau tidak (bila mengancam atas kesehatannya secara fisik, mental dan sosial) atau karena kondisi darurat yang akan mengancam kesehatan dan atau bahkan nyawa perempuan. Konseling dan informasi harus diberikan bagi kasus-kasus kehamilan yang tidak diinginkan sehingga sedini mungkin dapat diantisipasi.
Penghormatan dan Perlindungan atas HAM Perempuan sebagai Prasyarat Atasi Problem Kesehatan Perempuan
Peningkatan HAM perempuan merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar untuk mengantisipasi persoalan kesehatan perempuan.Meningkatkan penghargaan/penghormatan serta pengakuan akan hak-hak asasi manusia perempuan merupakan hal yang krusial dan prasyarat bagi pemenuhan kesehatan perempuan. Terutama mengembalikan kapasitas perempuan untuk menikmati hak-hak fundamentalnya sebagai manusia yang otonom, dan memiliki kontrol penuh atas integritas tubuh/seksualitasnya.
Yakni, bagaimana perempuan terbebas dari kehamilan yang tidak diinginkan dengan meningkatkan hak-hak perempuan atas otonomi tubuhnya. Bagaimana terhindar dari penyakit (IMS/ISR termasuk dari HIV/AIDS) dan ancaman kematian. Bagaimana perempuan terbebas dari kekerasan termasuk hubungan seksual (hak untuk menikmati hubungan seksual yang aman (safe), terlindungi (protected) dan dikehendaki (wanted).
Dalam Konferensi Perempuan sedunia pada tahun 1999, ditegaskan kembali bahwa Hak-hak asasi perempuan adalah “mencakup hak perempuan untuk memiliki kontrol dan keputusan secara bebas dan bertanggungjawab atas persoalan-persoalan berkenaan dengan seksualitas mereka, termasuk kesehatan reproduksi dan seksual, bebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan. Relasi yang sama antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan hubungan seksual dan reproduksi, penghargaan dan persetujuan yang sama, dan saling bertanggungjawab terhadap perilaku seksual serta konsekuensi-konsekuensinya” (Deklarasi Beijing, Platform For Action, 1999)
Begitupun dalam Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No.7 Tahun 1984. Bahwa “Diskriminasi terhadap perempuan adalah setiap pembedaan, pegucilan, pembatasan yang mempunyai tujuan atau pengaruh yang akan mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM bagi/oleh perempuan, terlepas dari status perkawinannya”. (Pasal 1).
Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh kelompok perempuan untuk memperluas pengakuan atas Hak-hak Reprodukasi perempuan, antara lain: Memperjuangkan lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (memasukkan kekerasan seksual dalam rumah tangga sebagai perbuatan pidana). Perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan dari praktek-praktek perdagangan orang (memasukkan eksploitasi pelacuran dan seksual sebagai modus dan tujuan trafiking) dalam UU No. 21 Tahun 2007. Upaya amandemen UU No. 1 Tahun 1974, terutama untuk menghapus ketentuan soal domestikasi perempuan, poligami, batas usia perkawinan bagi anak perempuan. Serta, mendorong Revisi UU Kesehatan dengan memasukkan bab Kesehatan Reproduksi —dan telah disahkan pada tanggal 14 September 2009 .
Advokasi UU Kesehatan
Saat ini, masyarakat Indonesia sudah memiliki UU Kesehatan baru yang merupakan revisi dari UU Kesehatan yang lama (UU No.23 Tahun 1992) yang dipandang sudah tidak lagi sejalan dengan perkembangan zaman. UU Kesehatan yang disahkan pada tanggal 14 September 2009 telah melalui proses pembahasan yang cukup lama. Draft awal diajukan pada tahun 2000 ke Komisi VII DPR, kemudian ditindaklanjuti dengan sosialisasi dan sejumlah pembahasan hingga akhirnya disetujui melalui Sidang Pleno Komisi VII. Namun baru pada tahun 2009 lah, RUU Kesehatan dibahas di Pansus Komisi IX yang membidangi isu kesehatan. Pembahasan pun dilakukan di penghujung tahun masa persidangan DPR, seakan-akan hanya kejar tayang menjelang berakhirnya DPR periode 2004-2009. Kelompok perempuan dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan bersama-sama dengan Yayasan Kesehatan Perempuan dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang peduli, berupaya mengawal RUU Kesehatan tersebut, guna memastikan agar hak-hak kesehatan masyarakat khususnya memasukan pengakuan atas hak-hak kesehatan reproduksi perempuan dalam RUU tersebut. Selain itu berusaha mempromosikan pendekatan HAM dan kesetaraan gender dalam kesehatan.
Keberhasilan advokasi dan beberapa catatan kelemahan
Setidaknya melalui UU Kesehatan yang baru, Kesehatan Reproduksi telah dimuat menjadi satu bab tersendiri. Adapun definisinya: “Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan”. (Pasal 71 (1))
Kesehatan reproduksi meliputi:
a.       Saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan.
b.      Pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual; dan
c.       Kesehatan sistem reproduksi (2).
Kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Setiap orang berhak:
a.       Menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah. (catatan: masih diskriminatif)
b.      Menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dng norma agama. (catatan: harus dicermati jgn sampai menjadi diskriminatif bias tafsir agama tertentu)
c.       Menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama. (catatan: dijadikan legitimasi untuk tidak memenuhi hak kespro perempuan—contoh: kebutuhan layanan aborsi aman berbasis konseling bagi kasus-kasus kesehatan yang darurat)
d.      Memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 72
Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan hukum yang berlaku. (Pasal. 74 (2)). (catatan: bagaimana kalau tafsir agama tertentu atau juga hukum positif seperti KUHP justru bertentangan dengan pemenuhan kesehatan reproduksi. Ini menimbulkan ketidakpastian hukum )
Ketentuan aborsi (Pasal.75)
1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi
2. Pengecualian berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan (catatan: tidak mempedulikan faktor-faktor lain non medis dan psikososial—tidak ada solusi. Tidak akan efektif kurangi AKI)
3. Tindakan aborsi yang dikecualikan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
Aborsi yang dikecualikan tersebut hanya dapat dilakukan:
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terkahir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; (catatan: batasan umur kehamilan 6 minggu tidak akan efektif karena pada usia tersebut perempuan umumnya belum menyadari dan tes urine belum menampakkan hasil positif.)
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan (catatan: izin suami menjadi problematis, karena relasi gender yang timpang dan dominasi laki-laki dalam keluarga patriarkhi).
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri.
Pasal 77: Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi (sebagaimana yang dikecualikan) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan perundang-undangan.
Catatan: UU Kesehatan masih diskriminatif
Tiadanya kepastian jaminan kesehatan untuk semua orang
Kelemahan UU Kesehatan terlihat dari masih adanya pasal-pasal yang tidak memberi kepastian hukum yang sama bagi semua orang untuk mengakses layanan kesehatan tanpa diskriminasi. Contohnya dalam Pasal 81 butir a. “Setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangannya yang sah.” Rumusan ini jelas diskriminatif, karena mereduksi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual menjadi direduksi atas dasar status perkawinannya, dan bertentangan dengan Pasal 28 H (1) UUD 1945 yang menegaskan ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Moralisasi kesehatan
Terdapat pasal-pasal dalam UU yang digantungkan pada norma-norma agama sehingga tidak ada kepastian hukum bahwa kesehatan adalah semata isu kesehatan yang merupakan hak asasi fundamental bagi setiap orang tanpa melihat latar belakang serta status sosialnya (marital status). Sekurang-kurangnya ada 4 pasal yakni Pasal 72, pasal 74, dan pasal 77, yang dikaitkan dengan norma-norma agama. Contoh Pasal 74 ayat 2 menyebutkan: “Setiap pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama dan ketentuan hukum yang berlaku”
Faktanya, perempuan terancam kematian karena penyakit terkait organ reproduksinya. Salah satunya kanker leher rahim yang menempati peringkat tertinggi penyebab kematian perempuan Indonesia. Namun pencegahan tidak dapat dilakukan sejak dini akibat stigmatisasi/ perlakuan diskriminatif dari petugas kesehatan terhadap perempuan dewasa lajang yang ingin memeriksakan kesehatan reproduksi mereka seperti papsmear. Seolah-olah kesehatan hanya diperuntukkan bagi isteri atau seorang ibu dalam relasi perkawinan. Diluar itu, terdapat stigma yang menyudutkan perempuan yang pada dasarnya berhak atas layanan kesehatan yang sama.
Kriminalisasi perempuan
UU Kesehatan telah memberikan sanksi yang berlebihan atau over criminalisasi terhadap perempuan yang terpaksa melakukan aborsi karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya meneruskan kehamilan. Pasal 117 memberikan hukuman penjara hingga 15 tahun dan pidana denda 10 milyar bagi pelaku aborsi diluar ketentuan RUU yang mengecualikan aborsi hanya untuk:
1. Kondisi kedaruratan medis dan
2. Korban perkosaan yang mengalami trauma, dengan masing-masing mensyaratkan pada usia kehamilan harus masih dibawah 6 (minggu) disertai rekomendasi dari lembaga agama dan penetapan panel agama/tokoh agama. Hukuman ini jauh lebih berat dari KUHP yang memberi ancaman maksimal 4 tahun. Dengan ancaman diatas 5 tahun, maka perempuan dapat langsung ditahan dalam kondisi sakit. Sanksi denda yang tidak masuk akal juga memungkinkan terbukanya kesempatan korupsi mengingat kebutuhan aborsi yang besar di masyarakat akibat faktor kemiskinan, kegagalan KB, serta kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).
Rumusan diatas sama sekali tidak akan efektif mengurangi Angka Kematian Ibu di Indonesia, 420/100.000 kelahiran hidup , yang berarti setiap 1 jam terdapat 2 perempuan hamil yang meninggal akibat pendarahan sewaktu persalinan termasuk akibat praktek aborsi tidak aman yang menyumbang 10-50% kematian perempuan.(WHO: Gulardi, 2001). Dilakukan kebanyakan oleh perempuan yang menikah (87%) antara lain karena gagal KB. Adanya persyaratan rekomendasi lembaga agama dan penetapan panel ahli/tokoh agama akan menyulitkan bagi perempuan yang terncam kesehatannya bahkan nyawanya dan menambah trauma bagi perempuan korban perkosaan. Ketentuan ini akan memperlambat penanganan yang seharusnya dapat diberikan secara cepat untuk kepentingan kesehatan pasien. Rekomendasi Komite Cedaw: agar setiap negara menghapus kriminalisasi perempuan yang melakukan aborsi dalam upaya untuk sehat, hidup dan bertahan hidup (survive) yang merupakan hak-hak asasinya.
Intinya, ketentuan aborsi dalam UU Kesehatan tidak dikembalikan pada kebutuhan perempuan akan kesehatan (fisik, mental, sosial). Tidak sepenuhnya menempatkan isu tersebut sebagai problem kesehatan perempuan.
Faktanya, 9 dari 10 perempuan korban kekerasan yang didampingi lembaga penanganan korban kekerasan mengalami dampak yang mengganggu kesehatan jiwanya hingga upaya percobaan bunuh diri. Hampir 50% korban perkosaan setiap tahun terkena PMS dan 20% mengalami kehamilan yang menimbulkan trauma dan berupaya melakukan pengguguran dengan cara-cara yang mengancam jiwanya (Data WCC Mitra Perempuan, 2006 dan LBH-APIK Semarang)
Kesimpulan
UU kesehatan meski ada terobosan baru, namun masih –dalam beberapa ketentuannya– melanggar prinsip-prinsip HAM yang sudah diatur dalam instrumen hukum nasional seperti UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU NO.7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU No.12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi hak Sipil dan Politik. Aturan Hukum Nasional tersebut menegaskan bahwa Negara bertanggungjawab menjamin terpenuhinya hak warganegaranya atas kesehatan tanpa diskriminasi

Friday, June 28, 2013

KONSEP SEKSUALITAS


Konsep Seksualitas
A.    Pengertian
Seksualitas adalah kebutuhan dasar manusia dalam manifestasi kehidupan yang berhubungan dengan alat reproduksi. (Stevens: 1999). Sedangkan menurut WHO dalam Mardiana (2012) seksualitas adalah suatu aspek inti manusia sepanjang kehidupannya dan meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi.
Seksualitas adalah komponen identitas personal individu yang tidak terpisahkan dan berkembang dan semakin matang sepanjang kehidupan individu. Seksualitas tidak sama dengan seks. Seksualitas ialah interaksi faktor-faktor biologis, psikologi personal, dan lingkungan. Fungsi biologis mengacu pada kemampuan individu untuk memberi dan menerima kenikmatan dan untuk bereproduksi. Identitas dan konsep diri seksual psikologis mengacu pada pemahaman dalam diri individu tentang seksualitas seperti citra diri, identifikasi sebagai pria atau wanita, dan pembelajaran peran-peran maskulin atau feminin. Nilai atau aturan sosio budaya membantu dalam membentuk individu berhubungan dengan dunia dan bagaimana mereka memilih berhubungan seksual dengan orang lain. (Bobak: 2004)
B.     2 aspek seksualitas:
  1. Seksualitas dalam arti sempit
Dalam arti sempit seks berarti kelamin. Yang termasuk dalam kelamin adalah sebagai berikut:
a.       Alat kelamin itu sendiri
b.      Kelenjar dan hormon-hormon dalam tubuh yang mempengaruhi bekerjanya alat kelamin
c.       Anggota tubuh dan ciri-ciri badaniah lainnya yang membedakan laki-laki dan perempuan
d.      Hubungan kelamin
  1. Seksualitas dalam arti luas
Segala hal yang terjadi akibat dari adanya perbedaan jenis kelamin antara lain:
a.       Perbedaan tingkah laku: lembut, kasar, genit, dll
b.      Perbedaan atribut: pakaian, nama, dll
c.       Perbedaan peran. (Mardiana: 2012)
C.     Fungsi Seksualitas
  1. Kesuburan
Pada beberapa kebudayaan, seorang wanita muda mungkin merasakan adanya keinginan yang kuat untuk membuktikan kesuburannya bahkan walaupun ia sebenarnya belum menginginkan anak pada tahap kehidupannya saat itu. Ini adalah macam masyarakat yang secara tradisional wanita hanya dianggap layak dinikahi apabila ia sanggup membuktikan kesuburannya.
  1. Kenikmatan
Mungkin pendorong primer atau mendasar perilaku seksual adalah kenikmatan atau kesenangan yang dirasakan yaitu suatu kombinasi kenikmatan sensual dan kenikmatan khas seksual yang berkaitan dengan orgasme.
  1. Mempererat ikatan dan meningkatkan keintiman pasangan
Dalam suatu pertalian seksual yang ekslusif, pasangan melakukan secara bersama-sama hal-hal yang tidak ingin mereka lakukan dengan orang lain. Ini adalah esensi dari keintiman seksual. Efektivitas seks dalam memperkuat keintiman tersebut berakar dari risiko psikologis yang terlibat; secara khusus, resiko ditolak, ditertawakan, mendapati bahwa dirinya tidak menarik, atau kehilangan kendali dapat memadamkan gairah pasangan.
  1. Menegaskan maskulinitas atau feminitas
Sepanjang hidup kita, terutama pada saat-saat identitas gender terancam karena sebab lain (mis., saat menghadapi perasaan tidak diperlukan atau efek penuaan), kita mungkin menggunakan seksualitas untuk tujuan ini.
  1. Meningkatkan harga diri
Merasa secara seksual bagi orang lain, atau berhasil dalam upaya seksual, secara umum dapat meningkatkan harga diri.
  1. Mencapai kekuasaan atau dominasi dalam hubungan
Kekuasaan (power) seksualitas cenderung dianggap sebagai salah satu aspek maskulinitas, dengan pria, baik karena alasan sosial maupun fisik, biasanya berada dalam posisi dominan. Namun, seks dapat digunakan untuk mengendalikan hubungan baik oleh pria dan wanita dan karenanya sering merupakan aspek penting dalam dinamika hubungan. Kekuasaan tersebut mungkin dilakukan dengan mengendalikan akses ke interaksi seksual, menentukan bentuk pertalian seksual yang dilakukan, dan apakah proses menimbulkan efek positif pada harga diri pasangan. Sementara dapat terus menjadi faktor dalam suatu hubungan yang sudh berjalan, hal ini juga merupakan aspek yang penting dan menarik dalam perilaku awal masa “berpacaran”.
  1. Mengungkapkan permusuhan
Aspek penting dalam  masalah “dominasi” pada interaksi seksual pria-wanita adalah pemakaian seksualitas untuk mengungkapkan permusuhan. Hal ini paling relevan dalam masalah perkosaan dan penyerangan seksual. Banyak kasus penyerangan atau pemaksaan seksual dapat dipandang sebagai perluasan dari dominasi atau kekuasaan, biasanya oleh pria terhadap wanita. Juga terdapat keadaan-keadaan dengan penyerangan seksual dapat dipahami sebagai suatu ungkapan kemarahan, baik terhadap wanita itu sendiriatau terhadap wanita itu sebagai pengganti wanita lain.
  1. Mengurangi ansietas atau ketegangan
Menurunnya gairah yang biasanya terjadi setelah orgasme dapat digunakan sebagai cara untuk mengurangi ansietas atau ketegangan.
  1. Pengambilan resiko
Interaksi seksual menimbulkan berbagai risiko, berkisar dari yang relatif ringan, misalnya ketahuan, sampai serius misalnya hamil atau infeksi menular seksual. Adanya resiko tersebut menjadi semakin bermakna dan mengganggu dengan terjadinya epidemi HIV dan AIDS. Bagi sebagian besar orang, kesadaran adanya resiko akan memadamkan respon seksual sehingga mereka mudah menghindari resiko tersebut. Namun, bagi beberapa individu, gairah yang berkaitan dengan persepsi resiko malah meningkatkan respons seksual. Untuk individu yang seperti ini, resiko seksual menjadi salah satu bentuk  kesenangan yang dicari.
  1. Keuntungan materi
Prostitusi adalah bentuk yang jelas dari aktivitas seksual untuk memperoleh keuntungan dan hal ini sering merupakan akibat dari kemiskinan. Pernikahan, sampai masa ini masih sering dilandasi oleh keinginan untuk memperoleh satu bentuk perlindungan dan bukan semata mata ikatan emosional komitmen untuk hidup bersama.   
( Glasier: 2005 )
D.    Kesehatan Seksualitas
Kesehatan seksual adalah kemampuan seseorang mencapai kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang terkait dengan seksualitas, hal ini tercermin dari ekspresi yang bebas namun bertanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan sosialnya misalnya dalam menjaga hubungan dengan teman atau pacar dalam batasan yang diperbolehkan oleh norma dalam masyarakat atau agama. Bukan hanya tidak adanya kecacatan, penyakit atau gangguan lainnya. Kondisi ini hanya bisa dicapai bila hak seksual individu perempuan dan laki-laki diakui dan dihormati (BKKBN, 2006).
E.     Pertumbuhan Dan Perkembangan Seks Manusia
Pertumbuhan dan perkembangan seks manusia disebut libido. Terdiri dari beberapa tahap yaitu:
1.      Tahap oral: Sampai mencapai umur sekitar 1-2 tahun, tingkat kepuasan seks dengan menghisap puting susu ibu, dot botol, menghisap jari tangan, Dengan bayi baru dapat tidur setelah disusui ibu, menghisap botol atau tidur sambil menghisap jarinya. Oleh karena itu perilaku demikian tidak perlu dilarang.
2.      Tahap anal: Kepuasan seks anak didapat melalui rangsangan anus saat buang air besar, antara umur 3-4 tahun sering duduk lama ditoilet, sehingga kepuasannya tercapai.
3.      Tahap falik: Terjadi sekitar umur 4-5 tahun, dengan jalan mempermainkan alat kelaminnya.
4.      Tahap laten: Terjadi sekitar umur 6-12 tahun. Tingkah laku seksual seolah-olah terbenam, karena mungkin lebih banyak bermain, mulai masuk sekolah, dan adanya pekerjaan rumah dari sekolah, Sehingga anak-anak cepat lelah dan lekas tertidur, untuk siap bangun pagi dan pergi ke sekolah.
5.      Tahap genital: Umur anak sekaitar 12-15 tahun. Tanda seks sekunder mulai berkembang dan keinginan seks dalam bentuk libido mulia tampak dan terus berlangsung sampai mencapai usia lanjut. Suara mulai berubah, keinginan dipuja dan memuja mulai muncul, keingian dicumbu dan mencumbu pun mulai tampak. Saat ini masa yang sangat berbahaya, sehingga memerlukan perhatian orang tua. Pada wanita telah mulai dating bulan (menstruasi) dan pria mulai mimpi basah sehingga dapat menyebabkan kehamilan atau hamil bila mereka melakukan hubungan seksual. Karena kematangan jiwa dan jasmani belum mencapai tingkat dewasa, sehingga bila terjadi kehamilan yang tidak dihendaki, memberikan dampak kejiwaan yang sangat menyedihkan (chandranita :2009).
Berkembangnya seksualitas dan pertalian seksual
1.      Remaja
Pada awal masa remaja, sebagian besar seksualitas berkaitan dengan penegasan identitas gender dan harga diri. Pada saat awitan pubertas terjadi perubahan-perubahan di tubuh yang berlangsung tanpa dapat diduga sementara perubahan-perubahan hormon menimbulkan dampak pada reaktivitas emosi.
2.      Pasangan dan awal perkawinan
Setelah perkawinan dimulai, tantangannya adalah membangun rasa aman dalam pertalian seksual yang juga mulai kehilangan pengaruh “pengalaman barunya”. Pada tahap inilah membangun komunikasi yang baik menjadi sangat penting untuk kelanjutan perkembangan pertalian seksual. Apabila pasangan tidak mengembangkan cara-cara yang memungkinkan pasangannya mengetahui apa yang mereka nikmati dan apa yang tidak menyenangkan maka akan muncul masalah yang seharusnya dapat dihadapi dan dipecahkan.
3.      Awal menjadi orang tua
Kehamilan, dan beberapa bulan setelah kelahiran, menimbulkan kebutuhan lebih lanjut akan penyesuaian seksual. Wanita besar kemungkinannya mengalami penurunan keinginan seksual dan kapasitas untuk menikmati seks menjelang akhir kehamilnya karena terjadinya perubahan-perubahan fisik dan mekanis. Periode pascanatal, karena berbagai alasan merupakan salah satu periode saat munculnya kesulitan-kesulitan seksual yang apabila pasangan obesitas belum mengembangkan metode-metode yang sesuai untuk mengatasinya, dapat menimbulkan kesulitan berkepanjangan. Masalah jangka panjang yang paling sering dalam hali ini adalah hilangnya gairah seksual pihak wanita.
4.      Usia paruh baya
Seksualitas pada hubungan yang sudah terjalin lama biasanya menghadapi hambatan yang berbeda-beda. Pada tahap ini sesuatu yang baru dalam hubungan seksual telah lama hilang. Bagi banyakorang halini tidak menimbulkan masalah. Mereka telah mengembangkan bentuk kenyamanan intimasiseksual lain yang tetap menjadi bagian integral dari hubungan mereka. Tetapi bagi yang lain, kualitas hubungan seksual yang rutin ini akan memakan korban. Pada keadaan seperti ini stress di tempat kerja misalnya akan mudah menyebabkan kelelahan dan memadamkan semua antusiasme spontan untuk melakukan aktivitas seksual. Hubungan intim menjadi jarang dilakukan dan sebagai konsekuensinya dapat timbul ketegangan dalam hubungan pasangan tersebut.
Pada kelompok yang lebih tua lagi masalah seksual yang kita hadapi terutama adalah masalah ereksi pada pria dan hilangnya minat seksual pada wanita. Proses penuaan memang menimbulkan dampak pada seksualitas tetapi tentu tidak selalu negatif. Pasangan pada usia ini lebih kecil kemungkinannya meminta pertolongan dalam konteks keluarga berencana atau kesehatan reproduksi.
(Glasier: 2005)
F.      Dimensi Seksualitas
Seksualitas memiliki dimensi-dimensi. Dimensi-dimensi Seksualitas seperti sosiokultural, dimensi agama dan etik, dimensi psikologis dan dimensi biologis (Perry & Potter, 2005). Masing-masing dimensi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1.      Dimensi Sosiokultural
Seksualitas dipengaruhi oleh norma dan peraturan kultural yang menentukan apakah perilaku yang diterima di dalam kultur. Keragaman kultural secara global menciptakan variabilitas yang sangat luas dalam norma seksual dan menghadapi spectrum tentang keyakinan dan nilai yang luas. Misalnya termasuk cara dan perilaku yang diperbolehkan selama berpacaran, apa yang dianggap merangsang, tipe aktivitas seksual, sanksi dan larangan dalam perilaku seksual, dengan siapa seseorang menikah dan siapa yang diizinkan untuk menikah.
Setiap masyarakat memainkan peran yang sangat kuat dalam membentuk nilai dan sikap seksual, juga dalam membentuk atau menghambat perkembangan dan ekspresi seksual anggotanya. Setiap kelompok sosial mempunyai aturan dan norma sendiri yang memandu perilaku anggotanya.
Peraturan ini menjadi bagian integral dari cara berpikir individu dan menggarisbawahi perilaku seksual, termasuk, misalnya saja, bagaimana seseorang menemukan pasangan hidupnya, seberapa sering mereka melakukan hubungan seks, dan apa yang mereka lakukan ketika mereka melakukan hubungan seks.
2.       Dimensi Agama dan etik
Seksualitas juga berkaitan dengan standar pelaksanaan agama dan etik. Ide tentang pelaksanaan seksual etik dan emosi yang berhubungan dengan seksualitas membentuk dasar untuk pembuatan keputusan seksual. Spektrum sikap yang ditunjukan pada seksualitas direntang dari pandangan tradisional tentang hubungan seks yang hanya dalam perkawinan sampai sikap yang memperbolehkan individu menentukan apa yang benar bagi dirinya. Keputusan seksual yang melewati batas kode etik individu dapat mengakibatkan konflik internal.
3.       Dimensi Psikologis
Seksualitas bagaimana pun mengandung perilaku yang dipelajari. Apa yang sesuai dan dihargai dipelajari sejak dini dalam kehidupan dengan mengamati perilaku orangtua. Orangtua biasanya mempunyai pengaruh signifikan pertama pada anak-anaknya.
Mereka sering mengajarkan tentang seksualitas melalui komunikasi yang halus dan nonverbal. Seseorang memandang diri mereka sebagai makhluk seksual berhubungan dengan apa yang telah orangtua mereka tunjukan kepada mereka tentang tubuh dan tindakan mereka. Orangtua memperlakukan anak laki-laki dan perempuan secara berbeda berdasarkan jender.
4.      Dimensi Biologis
Seksualitas berkaitan dengan pebedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang ditentukan pada masa konsepsi. Material genetic dalam telur yang telah dibuahi terorganisir dalam kromosom yang menjadikan perbedaan seksual. Ketika hormone seks mulai mempengaruhi jaringan janin, genitalia membentuk karakteristik laki-laki dan perempuan. Hormon mempengaruhi individu kembali saat pubertas, dimana anak perempuan mengalami menstruasi dan perkembangan karakteristik seks sekunder, dan anak laki-laki mengalami pembentukan spermatozoa (sperma) yang relatif konstan dan perkembangan karakteristik seks sekunder.
G.    Permasalahan Seksualitas
Adapun penyebab dari masalah seksualitas adalah antara lain:
1.      Ketidaktahuan mengenai seks
Lebih dari 70% wanita di Indonesia tidak mengetahui dimana letak klitorisnya sendiri. Sebuah hal yang sebenarnya sangat penting tetapi tidak diketahui oleh banyak orang. Masalah ketidaktahuan terhadap seks sudah betul-betul merakyat. Ini berpangkal dari kurangnya pendidikan seks yang sebagian besar dari antara masyarakat tidak memperolehnya pada waktu remaja. Tidak jarang, pengetahuan seks itu hanyalah sebatas informasi, bukan pendidikan. Itu terjadi karena mereka tidak mendapatkan pendidikan seks di sekolah atau lembaga formal lainnya. Akibatnya, keingintahuan soal seks didapatkannya dari berbagai media. Untuk itu orang tua hendaknya memberikan pendidikan soal seks kepada anak-anaknya sejak dini. Salah satunya dengan memisahkan anak-anaknya tidur dalam satu kamar setelah berusia sepuluh tahun, sekalipun sama-sama perempuan atau laki-laki. Demikian halnya dengan menghindarkan anak-anaknya mandi bersama keluarga atau juga teman-temannya.
Orang tua harus menjawab jujur ketika anaknya bertanya soal seks. Jawaban-jawaban yang diberikan hendaknya mudah dimengerti dan sesuai dengan usia si anak. Karena itulah, orang tua dituntut membekali dirinya dengan pengetahuan-pengetahuan tentang seks. Terlebih lagi, perubahan fisik dan emosi anak akan terjadi pada usia 13 – 15 tahun pada pria dan 12 – 14 tahun pada wanita. Saat itulah yang dinamakan masa pubertas yaitu masa peralihan dari masa anak-anak menjadi remaja. Pada saat itu pula, mereka mulai tertarik kepada lawan jenisnya.
2.      Kelelahan
Rasa lelah adalah momok yang paling menghantui pasangan pada jaman ini dalam melakukan hubungan seks. Apalagi dengan meningkatnya tuntutan hidup, sang wanita harus ikut bekerja di luar rumah demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pada waktu suami istri pulang dari kerja, mereka akan merasa lelah. Dan pasangan yang sedang lelah jarang merasakan bahwa hubungan seks menarik minat. Akhirnya mereka memilih untuk tidur. Kelelahan bisa menyebabkan bertambahnya usaha yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan lawan jenis dan merupakan beban yang membuat kesal yang akhirnya bisa memadamkan gairah seks.
3.      Konflik
Sebagian pasangan memainkan pola konflik merusak yang berwujud sebagai perang terbuka atau tidak mau berbicara sama sekali satu sama lain. Konflik menjadi kendala hubungan emosional mereka. Bahkan ini bisa menggeser proses foreplay. Pasangan dapat mempertajam perselisihan mereka dengan menghindari seks atau mengeluarkan ungkapan negatif atau membandingkan dengan orang lain, yang sangat melukai perasaan pasangannya. Kemarahan dan kecemasan yang tidak terpecahkan bisa menyebabkan sejumlah masalah seksual antara lain masalah ereksi, hilang gairah atau sengaja menahan diri untuk tidak bercinta. Perbedaan antara satu orang dan lainnya biasanya tidak baik dan tidak juga buruk. Jadi haruslah dipandang hanya sebagai perbedaan. Kemarahan, ketegangan atau perasaan kesal akan selalu menghambat gairah seks.
4.       Kebosanan
Seperti halnya menggosok gigi atau menyetel alarm jam, seks bisa dianggap seperti “kerja malam”. Hubungan seks yang rutin sebelum tidur sering menjadi berlebihan sampai ke suatu titik yang membosankan. Yang mendasari rasa bosan itu adalah kemarahan yang disadari atau tidak disadari karena harapan anda tidak terpenuhi. Masalah ini diderita oleh kebanyakan pasangan yang sudah hidup bersama bertahun-tahun. Sebagian pasangan yang sudah hidup bersama untuk jangka waktu yang lama merasa kehilangan getaran kenikmatan yang datang ketika melakukan hubungan seks dengan pasangan yang baru. Orang demikian melihat rayuan penguat ego, dibandingkan bila bersenggama dengan mitra baru.
H.     Membantu Kesulitan Seksual
Kemampuan yang dapat sangat membantu tidak hanya memfasilitasi pasien dalam mengekspresikan kekhawatiran mereka mengenai kesulitan seksual, tetapi juga dengan mendengarkan secara empati. Tidak jarang, ini merupakan pertama kali pasien benar-benar mengutarakan masalah mereka dan mampu melakukannya, makamasalah dan kemungkinan-kemungkinan penyebabnya lebih mudah dibawa ke dalam perspektif. Pada banyak kasus, mungkin tidak tersedia informasi mengenai respons seksual normal dan apa yang dapat diharapkan. Hal ini dapat dengan mudah diperbaiki. Contoh-contoh umum adalah asumsi bahwa pasangan harus mencapai orgasme bersama-sama atau bahwa pihak wanita harus mengalami orgasme hanya melalui hubungan per vaginam.
Dengan cara berbicara dengan pasangan,kita dapat membantu mereka untuk lebih memahami satu sama lain dan mengetahui arti pengalaman seksual bagi masing-masing. Mendorong pasangan untuk berbicara secara lebih terbuka dan nyaman mengenai perasaan-perasaan seksual mereka sering merupakan hal yang sangat penting, karena cara tersebut dapat membuka jalan bagi pasangan untuk menyelesaikan sendiri masalahnya.
( Glasier: 2005 )

DAFTAR PUSTAKA

Bobak, L dkk. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC

Chandranita, Ida Ayu dkk. 2009. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: EGC

Glasier, Anna dan Ailsa Gebbie diterjemahkan oleh Brahm U. 2005. Keluarga Berencana Dan Kesehatan Reproduksi, E/4. Jakarta: EGC

Mardiana. Aktifitas Seksual Pra Lansia dan Lansia yang Berkunjung ke Poliklinik Geriatric RS Pusat Angkatan Udara dr. Esanawati Antariksa Jakarta Timur tahun 2011. Skripsi. Depok. FKM UI

Reeder, Sharon J dkk diterjemahkan oleh Yati Afiyanti dkk. 2011. Keperawatan Maternitas: Kesehatan Wanita, Bayi, & Keluarga. Jakarta: EGC

Stevens, PJM. 1999. Ilmu Keperawatan Jilid 2 Edisi 2. Jakarta: EGC

Stright, Barbara R. 2004. Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir. Jakarta: EGC