Persoalan Kesehatan Reproduksi Perempuan
Di dalam konferensi kependudukan sedunia, di Kairo 1994, diakui bahwa Kesehatan reproduksi tidak tercapai di banyak negara di dunia karena faktor-faktor sebagai berikut: tingkat pengetahuan yang tidak mencukupi tentang seksualitas serta informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang tidak tepat atau kurang bernilai; kelaziman perilaku seksual yang berisiko tinggi; praktek-praktek sosial yang diskriminatif; sikap-sikap negatif terhadap perempuan dan anak perempuan; dan kekuasaan terbatas yang dimiliki banyak perempuan dan anak perempuan atas kehidupan seksual dan reproduksi mereka.”
Selama ini pemerintah di banyak tempat, khususnya di Indonesia, hanya melihat soal seksualitas dan reproduksi manusia dalam kepentingan kekuasaan-kontrol kependudukan agar berdaya guna secara ekonomi dan politik. Khususnya mengontrol tubuh –’kesuburan’- perempuan (contoh: Program KB- yang menempatkan perempuan sebagai objek).
Sebaliknya, pendekatan humanisme dan HAM dalam melihat soal kependudukan dan soal-soal pembangunan, menempatkan manusia (laki-perempuan) sebagai individu yang memiliki otonomi untuk mengontrol tubuh dan seksualitasnya serta memiliki hak untuk menikmati standar tertinggi dari kesehatan baik secara fisik, psikis maupun sosial, yang dilindungi oleh negara-negara.
Pendekatan diatas yang merupakan koreksi terhadap pendekatan yang selama ini ada, tercermin dalam Landasan Aksi yang merupakan hasil konferensi kependudukan dunia di Kairo tahun 1994 (ICPD 1994). Di dalamnya memberikan defenisi Kesehatan Reproduksi, sebagai berikut:
“Kesehatan
reproduksi adalah suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang
utuh, dan bukan hanya ditandai dengan tidak adanya penyakit atau kelemahan,
dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi
serta proses-prosesnya. Karena itu, kesehatan reproduksi juga berarti seseorang
dapat mempunyai kehidupan seksual yang aman dan memuaskan dan bahwa mereka
memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan apakah
mereka ingin melakukannya, bilamana dan seberapa seringkah.
…Termasuk keadaan
terakhir ini adalah hak pria dan wanita untuk memperoleh informasi dan
mempunyai akses terhada cara-cara keluarga berencana yang aman, efektif,
terjangkau, dan dapat diterima, yang menjadi pilihan mereka, serta
metode-metode lain yang mereka pilih untuk pengaturan fertilitas yang tidak
melawan hukum; dan hak untuk memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan yang
tepat, yang akan memungkinkan para wanita dengan selamat menjalani kehamilan
dan melahirkan anak; dan memberikan kesempatan yang terbaik kepada
pasangan-pasangan untuk memiliki bayi yang sehat….
Kesehatan
Reproduksi juga mencakup kesehatan seksual, yang bertujuan meningkatkan status
kehidupan dan relasi-relasi personal, bukan semata-mata konseling dan perawatan
yang berhubungan dengan reproduksi dan penyakit menular seksual.
Mengingat rumusan
diatas, Hak-Hak Reproduksi mencakup hak-hak asasi manusia tertentu yang sudah
diakui dalam hukum-hukum nasional, dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia
internasional, dan dokumen-dokumen konsensus Perserikatan Bangsa-Bangsa lain
yang relevan. Hak-hak ini didasarkan pada pengakuan akan hak-hak asasi semua
pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab
mengenai jumlah anak, penjarakan anak dan menentukan waktu kelahiran anak-anak
mereka dan mempunyai informasi dan cara untuk memperolehnya, serta hak untuk
mencapai standar tertinggi kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini juga
mencakup hak semua orang untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas
dari diskriminasi, paksaan, dan kekerasan seperti dinyatakan dalam
dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia.
Mengapa advokasi
kesehatan reproduksi perempuan?
Konstruksi sosial
(atas SEKSUALITAS) yang eksis di masyarakat patriarkhi di manapun – telah
menjauhkan perempuan dari kemampuan-nya untuk mengontrol tubuh dan
seksualitasnya termasuk kesehatan reproduksinya. Fenomena kekerasan terhadap
perempuan dalam berbagai bentuk adalah salah satu wujudnya (KDRT, kekerasan
seksual termasuk marital rape, perkosaan, perdagangan perempuan/anak perempuan,
eksploitasi prostitusi)—terjadi hampir di semua penjuru dunia.
Data kasus
kekerasan berbasis gender/kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun KOMNAS
Perempuan secara nasional –memperlihatkan peningkatan setiap tahunnya. Catatan
yang dikeluarkan terakhir, Tahun 2008 meningkat 213% atau sejumlah 54.452 dari
sebelumnya 25.522 kasus (2007) dan 22.512 kasus (2006). (Lap Komnas Perempuan,
Maret 2009).
Kasus KDRT
menempati posisi tertinggi (52%) dimana kekerasan terhadap istri (KTI) secara
fisik, psikis, seksual dan penelantaran oleh suami merupakan yang dominan
(95%). Hal ini menunjukkan lembaga perkawinan tradisional (patriarkhi)
bermasalah dan cendrung diskriminatif terhadap perempuan. Giddens dalam “The
Third Way”telah menggambarkan hal tersebut : “Perkawinan tradisional didasarkan
pada ketidaksetaraan pria dan wanita dan kepemilikan legal suami atas isteri.
Wanita adalah harta bergerak dalam hukum Inggris, sampai beberapa puluh tahun
kemudian di abad ini. Anak-anak pun demikian. Selain itu, keluarga tradisional
pada umumnya melibatkan standar ganda dalam urusan seksual. Wanita yang telah
menikah diharapkan ‘penuh kebajikan’, sebagian karena pentingnya memastikan
paternitas. Sementara pria diberi hak seksual lebih besar”. (hal 105)
Di Indonesia,
isteri bukanlah subjek hukum (KUHPer) sampai lahir UU No.1/1974 tentang
Perkawinan. Sementara dalam UU Perkawinan yang sama, suami diposisikan sebagai
kepala rumah tangga, sedang isteri sebagai ibu rumah tangga (domestikasi
perempuan). (Pasal 31 dan 34). Selanjutnya, suami dibenarkan secara hukum dan
sosial untuk menikah hingga empat isteri. Di luar itu, mereka masih punya
privilege mendatangi pelacuran, melakukan perselingkuhan dan pada saat yang
sama lebih bebas dari stigma, lain halnya seperti yang dijatuhkan pada
perempuan (perempuan kotor, binal, pelacur, istri tidak setia, ‘nusyuz’
(durhaka)).
Seksualitas
perempuan harus diarahkan pada prokreasi dalam perkawinan: harus fungsional
menjamin kesuburan dan keturunan, mampu melayani kepentingan seksual suami.
Syarat poligami
dalam pasal 4 dan 5 UUP menyebutkan bahwa izin poligami dapat diberikan
pengadilan dengan syarat istri tidak dapat menjalankan kewajibannya: tidak
dapat melayani, tidak dapat melahirkan keturunan.
Perempuan sebagai
obyek hasrat dan kepentingan seksual sekaligus menjamin keturunan dari
laki-laki (dibungkus dalam idealisasi perkawinan heteroseksual-patriarkhi).
Sebelum lahir UU
PKDRT No. 23 Tahun 2004, kekerasan seksual dalam dalam perkawinan tidak pernah
dipertimbangkan sebagai kejahatan (Pasal 285 KUHP).
Bahkan setelah
lahir UU PKDRT, kasus-kasus kekerasan seksual tetap terjadi pada perempuan dan
sulit mengakses keadilan karena dianggap tabu, ketergantungan istri (nafkah,
psikis) stigma sosial, tidak ada dukungan dari keluarga, dan seterusnya.
Beberapa bentuk
kekerasan seksual di dalam perkawinan:
a. Memaksakan hubungan seksual dengan ancaman tidak diberi
nafkah
b. Melakukan hubungan seksual dengan cara tidak wajar (adegan
porno mengarah Seks Maniak)
c. Memasukkan benda-benda ke dalam vagina (terong, mentimun,
olesi balsem)
d. Memaksakan hubungan seksual padahal punya penyakit kelamin
karena suami sering “jajan”
Dampak pada
kesehatan reproduksi perempuan:
- Vagina mengalami
gatal-gatal
- Vagina terasa
nyeri
- Vagina memar
- Vagina berdarah
- Vagina bernanah
- Terinfeksi
penyakit kelamin
Dalam hukum tentang
perkosaan: tubuh perempuan direduksi sebatas bagian tubuh tertentu (vagina).
Perkosaan dibatasi pada konteks persetubuhan. Harus dibuktikan adanya penetrasi
penis ke vagina: adanya sperma, luka/robek selaput dara.
Tidak pernah
diakomodir bentuk-bentuk lain, seperti: pemaksaan oral, penggunaan benda,
penggunaan bagian tubuh diluar penis, dan seterusnya.
Bahwa perkosaan
sebagai pemaksaan yang tidak melulu bersifat fisik tidak pernah dianggap ada
(karena pengalaman perempuan didiskualifikasikan dalam hukum).
Kekerasan seksual
yang merupakan pelanggaran atas integritas tubuh, di dalam hukum tidak
dikategorikan sebagai kejahatan terhadap orang, tetapi sebagai pelanggaran
kesusilaan. Nilai masyarakat yang dijadikan patokan –konstruksi seksualitas
maskulin.
Tingginya Angka
Kematian Perempuan/Ibu (AKI)
Semua situasi yang
telah dipaparkan diatas pada dasarnya adalah merupakan pelanggaran atas hak-hak
reproduksi dan seksual perempuan. Problem yang juga sangat memprihatinkan dan
mencolok mata dari kesehatan perempuan adalah fenomena tingginya angka kematian
perempuan/ibu (AKI) di Indonesia. Yakni (373/100.000 kelahiran hidup) .
Tingginya AKI di Indonesia seringkali hanya dilaporkan sebagai akibat dari
pendaharan (46,7%), keracunan kehamilan (14,5%) dan infeksi (8%) (Depkes 1996).
Namun, analisis lanjut dari Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995
menunjukkan bahwa aborsi berkontribusi 11% terhadap kematian ibu di Indonesia.
Angka ini mungkin lebih besar lagi mengingat tidak dilakukannya pencatatan data
resmi tindakan aborsi, terutama aborsi tidak aman (unsafe abortion). Gulardi
mensinyalir 10-50 persen dari AKI dikarenakan aborsi yang tidak aman (WHO:
Gulardi, 2001). Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI, memperkirakan 50%
dari AKI dikarenakan aborsi yang tidak aman (Kompas 2002). Situasi ini terpaksa
ditempuh oleh perempuan karena minimnya akses kesehatan akibat tiadanya
pengaturan yang jelas terhadap aborsi. Adapun mayoritas perempuan yang rentan
menjadi korban adalah mereka yang sudah menikah (87%), yang melakukan aborsi
karena berbagai faktor darurat/terpaksa yang tidak semata-mata karena faktor
medis seperti gagal KB (36%), tekanan ekonomi dan psikososial, usia ibu yang
terlalu tua atau muda, jarak kehamilan yang terlalu dekat, dan trauma
melahirkan .
Masalah tingginya
AKI merupakan keprihatinan bersama di banyak tempat. Karena itu pada
kesepakatan dunia mengenai Tujuan Pembangun-an Milenium (MDG’s) yang
ditargetkan terwujud pada tahun 2015, –dimana pemerintah Indonesia juga ikut di
dalamnya,– menempatkan masalah penurunan tingginya kematian ibu ini sebagai
tujuan kelima dari MDG’s yang harus dicapai, yakni ¾ -nya dari angka pada tahun
1990. Dengan asumsi bahwa rasio tahun 1990 adalah sekitar 450, maka target
MDG’s adalah sekitar 110 pada tahun 2015 . Target tersebut tampaknya masih
sulit dicapai. Bukannya malah menurun, dalam beberapa laporan yang ada bahkan
jumlah AKI semakin meningkat, yakni 420/100.000 kelahiran. Ini angka yang
memprihatinkan. Bandingkan dengan Filiphina, 230, Malaysia, yang hanya 62,
Singapura, 14. (UNFPA, 2008. State of The World Population Report)
Fakta kematian perempuan tersebut jelas merupakan pelanggaran
hak asasi manusia yakni:
1. Hak untuk hidup bagi perempuan yang dalam proses reproduksinya menghadapi resiko gangguan fisik dan mental, kecacatan dan kematian, dan
1. Hak untuk hidup bagi perempuan yang dalam proses reproduksinya menghadapi resiko gangguan fisik dan mental, kecacatan dan kematian, dan
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan standar yang berkualitas,
termasuk pemanfaatan teknologi kesehatan reproduksi dan informasi terkait,
tanpa adanya diskriminasi.
Layanan aborsi yang
aman harus dilihat sebagai suatu kebutuhan perempuan yang bersangkutan untuk
memutuskan apakah kehamilannya dapat dilanjutkan atau tidak (bila mengancam
atas kesehatannya secara fisik, mental dan sosial) atau karena kondisi darurat
yang akan mengancam kesehatan dan atau bahkan nyawa perempuan. Konseling dan
informasi harus diberikan bagi kasus-kasus kehamilan yang tidak diinginkan
sehingga sedini mungkin dapat diantisipasi.
Penghormatan dan Perlindungan atas HAM Perempuan sebagai
Prasyarat Atasi Problem Kesehatan Perempuan
Peningkatan HAM
perempuan merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar untuk
mengantisipasi persoalan kesehatan perempuan.Meningkatkan
penghargaan/penghormatan serta pengakuan akan hak-hak asasi manusia perempuan
merupakan hal yang krusial dan prasyarat bagi pemenuhan kesehatan perempuan.
Terutama mengembalikan kapasitas perempuan untuk menikmati hak-hak
fundamentalnya sebagai manusia yang otonom, dan memiliki kontrol penuh atas
integritas tubuh/seksualitasnya.
Yakni, bagaimana
perempuan terbebas dari kehamilan yang tidak diinginkan dengan meningkatkan
hak-hak perempuan atas otonomi tubuhnya. Bagaimana terhindar dari penyakit
(IMS/ISR termasuk dari HIV/AIDS) dan ancaman kematian. Bagaimana perempuan
terbebas dari kekerasan termasuk hubungan seksual (hak untuk menikmati hubungan
seksual yang aman (safe), terlindungi (protected) dan dikehendaki (wanted).
Dalam Konferensi
Perempuan sedunia pada tahun 1999, ditegaskan kembali bahwa Hak-hak asasi
perempuan adalah “mencakup hak perempuan untuk memiliki kontrol dan keputusan
secara bebas dan bertanggungjawab atas persoalan-persoalan berkenaan dengan
seksualitas mereka, termasuk kesehatan reproduksi dan seksual, bebas dari
paksaan, diskriminasi dan kekerasan. Relasi yang sama antara laki-laki dan
perempuan berkenaan dengan hubungan seksual dan reproduksi, penghargaan dan
persetujuan yang sama, dan saling bertanggungjawab terhadap perilaku seksual
serta konsekuensi-konsekuensinya” (Deklarasi Beijing, Platform For Action,
1999)
Begitupun dalam
Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW), yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No.7
Tahun 1984. Bahwa “Diskriminasi terhadap perempuan adalah setiap pembedaan,
pegucilan, pembatasan yang mempunyai tujuan atau pengaruh yang akan mengurangi
atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM bagi/oleh
perempuan, terlepas dari status perkawinannya”. (Pasal 1).
Upaya-upaya yang
telah dilakukan oleh kelompok perempuan untuk memperluas pengakuan atas Hak-hak
Reprodukasi perempuan, antara lain: Memperjuangkan lahirnya UU No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan KDRT (memasukkan kekerasan seksual dalam rumah tangga
sebagai perbuatan pidana). Perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan
dari praktek-praktek perdagangan orang (memasukkan eksploitasi pelacuran dan
seksual sebagai modus dan tujuan trafiking) dalam UU No. 21 Tahun 2007. Upaya
amandemen UU No. 1 Tahun 1974, terutama untuk menghapus ketentuan soal
domestikasi perempuan, poligami, batas usia perkawinan bagi anak perempuan.
Serta, mendorong Revisi UU Kesehatan dengan memasukkan bab Kesehatan Reproduksi
—dan telah disahkan pada tanggal 14 September 2009 .
Advokasi UU Kesehatan
Saat ini,
masyarakat Indonesia sudah memiliki UU Kesehatan baru yang merupakan revisi
dari UU Kesehatan yang lama (UU No.23 Tahun 1992) yang dipandang sudah tidak
lagi sejalan dengan perkembangan zaman. UU Kesehatan yang disahkan pada tanggal
14 September 2009 telah melalui proses pembahasan yang cukup lama. Draft awal
diajukan pada tahun 2000 ke Komisi VII DPR, kemudian ditindaklanjuti dengan sosialisasi
dan sejumlah pembahasan hingga akhirnya disetujui melalui Sidang Pleno Komisi
VII. Namun baru pada tahun 2009 lah, RUU Kesehatan dibahas di Pansus Komisi IX
yang membidangi isu kesehatan. Pembahasan pun dilakukan di penghujung tahun
masa persidangan DPR, seakan-akan hanya kejar tayang menjelang berakhirnya DPR
periode 2004-2009. Kelompok perempuan dan masyarakat sipil yang tergabung dalam
Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan bersama-sama dengan Yayasan
Kesehatan Perempuan dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang peduli,
berupaya mengawal RUU Kesehatan tersebut, guna memastikan agar hak-hak
kesehatan masyarakat khususnya memasukan pengakuan atas hak-hak kesehatan
reproduksi perempuan dalam RUU tersebut. Selain itu berusaha mempromosikan pendekatan
HAM dan kesetaraan gender dalam kesehatan.
Keberhasilan
advokasi dan beberapa catatan kelemahan
Setidaknya melalui
UU Kesehatan yang baru, Kesehatan Reproduksi telah dimuat menjadi satu bab
tersendiri. Adapun definisinya: “Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat
secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari
penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses
reproduksi pada laki-laki dan perempuan”. (Pasal 71 (1))
Kesehatan
reproduksi meliputi:
a. Saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah
melahirkan.
b. Pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan
seksual; dan
c. Kesehatan sistem reproduksi (2).
Kesehatan
reproduksi dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif.
Setiap orang berhak:
Setiap orang berhak:
a. Menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang
sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang
sah. (catatan: masih diskriminatif)
b. Menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi,
paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak
merendahkan martabat manusia sesuai dng norma agama. (catatan: harus dicermati
jgn sampai menjadi diskriminatif bias tafsir agama tertentu)
c. Menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin
bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.
(catatan: dijadikan legitimasi untuk tidak memenuhi hak kespro
perempuan—contoh: kebutuhan layanan aborsi aman berbasis konseling bagi
kasus-kasus kesehatan yang darurat)
d. Memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai
kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 72
Pelaksanaan
pelayanan kesehatan reproduksi dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai
agama dan ketentuan hukum yang berlaku. (Pasal. 74 (2)). (catatan: bagaimana
kalau tafsir agama tertentu atau juga hukum positif seperti KUHP justru
bertentangan dengan pemenuhan kesehatan reproduksi. Ini menimbulkan
ketidakpastian hukum )
Ketentuan aborsi (Pasal.75)
1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi
2. Pengecualian berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita
penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan (catatan: tidak mempedulikan faktor-faktor lain non medis dan psikososial—tidak ada solusi. Tidak akan efektif kurangi AKI)
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan (catatan: tidak mempedulikan faktor-faktor lain non medis dan psikososial—tidak ada solusi. Tidak akan efektif kurangi AKI)
3. Tindakan aborsi yang dikecualikan hanya dapat dilakukan
setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
Aborsi yang dikecualikan tersebut hanya dapat dilakukan:
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari
pertama haid terkahir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; (catatan: batasan
umur kehamilan 6 minggu tidak akan efektif karena pada usia tersebut perempuan
umumnya belum menyadari dan tes urine belum menampakkan hasil positif.)
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan (catatan: izin
suami menjadi problematis, karena relasi gender yang timpang dan dominasi
laki-laki dalam keluarga patriarkhi).
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh menteri.
Pasal 77:
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi (sebagaimana
yang dikecualikan) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab
serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan perundang-undangan.
Catatan: UU Kesehatan masih diskriminatif
Tiadanya kepastian jaminan kesehatan untuk semua orang
Kelemahan UU
Kesehatan terlihat dari masih adanya pasal-pasal yang tidak memberi kepastian
hukum yang sama bagi semua orang untuk mengakses layanan kesehatan tanpa
diskriminasi. Contohnya dalam Pasal 81 butir a. “Setiap orang berhak menjalani
kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, bebas dari paksaan
dan/atau kekerasan dengan pasangannya yang sah.” Rumusan ini jelas
diskriminatif, karena mereduksi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya
bersifat individual menjadi direduksi atas dasar status perkawinannya, dan
bertentangan dengan Pasal 28 H (1) UUD 1945 yang menegaskan ”Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.”
Moralisasi
kesehatan
Terdapat
pasal-pasal dalam UU yang digantungkan pada norma-norma agama sehingga tidak
ada kepastian hukum bahwa kesehatan adalah semata isu kesehatan yang merupakan
hak asasi fundamental bagi setiap orang tanpa melihat latar belakang serta
status sosialnya (marital status). Sekurang-kurangnya ada 4 pasal yakni Pasal
72, pasal 74, dan pasal 77, yang dikaitkan dengan norma-norma agama. Contoh
Pasal 74 ayat 2 menyebutkan: “Setiap pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama
dan ketentuan hukum yang berlaku”
Faktanya, perempuan
terancam kematian karena penyakit terkait organ reproduksinya. Salah satunya
kanker leher rahim yang menempati peringkat tertinggi penyebab kematian
perempuan Indonesia. Namun pencegahan tidak dapat dilakukan sejak dini akibat
stigmatisasi/ perlakuan diskriminatif dari petugas kesehatan terhadap perempuan
dewasa lajang yang ingin memeriksakan kesehatan reproduksi mereka seperti
papsmear. Seolah-olah kesehatan hanya diperuntukkan bagi isteri atau seorang
ibu dalam relasi perkawinan. Diluar itu, terdapat stigma yang menyudutkan
perempuan yang pada dasarnya berhak atas layanan kesehatan yang sama.
Kriminalisasi
perempuan
UU Kesehatan telah memberikan sanksi yang berlebihan atau over
criminalisasi terhadap perempuan yang terpaksa melakukan aborsi karena kondisi
kesehatannya yang tidak memungkinkannya meneruskan kehamilan. Pasal 117
memberikan hukuman penjara hingga 15 tahun dan pidana denda 10 milyar bagi
pelaku aborsi diluar ketentuan RUU yang mengecualikan aborsi hanya untuk:
1. Kondisi kedaruratan medis dan
1. Kondisi kedaruratan medis dan
2. Korban perkosaan yang mengalami trauma, dengan masing-masing
mensyaratkan pada usia kehamilan harus masih dibawah 6 (minggu) disertai
rekomendasi dari lembaga agama dan penetapan panel agama/tokoh agama. Hukuman
ini jauh lebih berat dari KUHP yang memberi ancaman maksimal 4 tahun. Dengan
ancaman diatas 5 tahun, maka perempuan dapat langsung ditahan dalam kondisi
sakit. Sanksi denda yang tidak masuk akal juga memungkinkan terbukanya
kesempatan korupsi mengingat kebutuhan aborsi yang besar di masyarakat akibat
faktor kemiskinan, kegagalan KB, serta kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).
Rumusan diatas sama
sekali tidak akan efektif mengurangi Angka Kematian Ibu di Indonesia,
420/100.000 kelahiran hidup , yang berarti setiap 1 jam terdapat 2 perempuan
hamil yang meninggal akibat pendarahan sewaktu persalinan termasuk akibat
praktek aborsi tidak aman yang menyumbang 10-50% kematian perempuan.(WHO:
Gulardi, 2001). Dilakukan kebanyakan oleh perempuan yang menikah (87%) antara
lain karena gagal KB. Adanya persyaratan rekomendasi lembaga agama dan
penetapan panel ahli/tokoh agama akan menyulitkan bagi perempuan yang terncam
kesehatannya bahkan nyawanya dan menambah trauma bagi perempuan korban
perkosaan. Ketentuan ini akan memperlambat penanganan yang seharusnya dapat
diberikan secara cepat untuk kepentingan kesehatan pasien. Rekomendasi Komite
Cedaw: agar setiap negara menghapus kriminalisasi perempuan yang melakukan
aborsi dalam upaya untuk sehat, hidup dan bertahan hidup (survive) yang
merupakan hak-hak asasinya.
Intinya, ketentuan
aborsi dalam UU Kesehatan tidak dikembalikan pada kebutuhan perempuan akan
kesehatan (fisik, mental, sosial). Tidak sepenuhnya menempatkan isu tersebut
sebagai problem kesehatan perempuan.
Faktanya, 9 dari 10
perempuan korban kekerasan yang didampingi lembaga penanganan korban kekerasan
mengalami dampak yang mengganggu kesehatan jiwanya hingga upaya percobaan bunuh
diri. Hampir 50% korban perkosaan setiap tahun terkena PMS dan 20% mengalami
kehamilan yang menimbulkan trauma dan berupaya melakukan pengguguran dengan
cara-cara yang mengancam jiwanya (Data WCC Mitra Perempuan, 2006 dan LBH-APIK
Semarang)
Kesimpulan
UU kesehatan meski
ada terobosan baru, namun masih –dalam beberapa ketentuannya– melanggar
prinsip-prinsip HAM yang sudah diatur dalam instrumen hukum nasional seperti
UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU NO.7 tahun 1984
tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), UU No. 11 tahun 2005 tentang
Ratifikasi Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU No.12 tahun 2005
tentang Ratifikasi Konvensi hak Sipil dan Politik. Aturan Hukum Nasional
tersebut menegaskan bahwa Negara bertanggungjawab menjamin terpenuhinya hak
warganegaranya atas kesehatan tanpa diskriminasi
Best slots in the casinos of 2021 - TrickToAction
ReplyDeleteBest slots in the 토토사이트 해킹 샤오미 casinos of 2021 · 1. Super Diamond Casino - Play'n GO dafabet · bwin 2. Royal Panda Casino - 프랑스 리그1 순위 Play'n 메이저사이트 목록 Go · 3. Spins
SEGA Genesis The King of Dealer
ReplyDeleteProducts 1 - 24 of 144 — (Tagged "SEGA 카지노 사이트 Genesis The King of Dealer") Genesis The King of Dealer kirill-kondrashin - Sega Genesis The King of Dealer